Pelayanan Primer
Provinsi Kalimantan Timur, dengan lanskapnya yang beragam mulai dari perkotaan yang padat hingga pedalaman yang terpencil, menghadapi tantangan yang kompleks dalam pengendalian Diabetes Melitus (DM). Meskipun setiap kabupaten/kota memiliki program dan pendekatan yang berbeda, terdapat beberapa benang merah yang menyatukan upaya layanan primer di seluruh provinsi.
Salah satu tantangan utama dalam pengendalian DM di Kalimantan Timur adalah kesenjangan aksesibilitas layanan kesehatan antara daerah perkotaan dan pedalaman. Di kota-kota besar seperti Balikpapan, Samarinda dan Bontang, akses ke fasilitas kesehatan relatif mudah. Puskesmas dan klinik tersebar di berbagai wilayah, dan masyarakat memiliki pilihan yang lebih banyak untuk mendapatkan layanan skrining, edukasi, dan pengobatan DM. Namun, gambaran yang berbeda terlihat di daerah pedalaman. Kabupaten Kutai Timur, Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Paser memiliki wilayah-wilayah terpencil dengan infrastruktur yang terbatas dan akses yang sulit. Keterbatasan ini menghambat pelaksanaan program pengendalian DM, terutama dalam hal konsistensi edukasi dan pemantauan pasien.
Pendekatan program pengendalian DM di Kalimantan Timur juga bervariasi. Beberapa daerah, seperti Kutai Timur dan Bontang, menekankan pada pencegahan dan deteksi dini melalui program-program seperti Germas, Posbindu, dan CERDIK. Di sisi lain, kabupaten seperti Paser dan Penajam Paser Utara berupa pada pencegahan komplikasi, dengan memberikan perhatian pada pasien DM yang sudah mengalami luka kaki diabetik atau gangguan penglihatan. Perbedaan pendekatan ini menunjukkan bahwa program pengendalian DM di Kalimantan Timur telah disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Namun, perlu ada koordinasi yang lebih baik untuk memastikan bahwa semua aspek pengendalian DM, mulai dari pencegahan hingga pengelolaan komplikasi, tercakup secara komprehensif di seluruh provinsi.
Meskipun memiliki akses yang lebih baik ke layanan kesehatan, daerah perkotaan di Kalimantan Timur menghadapi tantangan tersendiri. Samarinda, sebagai ibu kota provinsi, memiliki prevalensi DM yang tinggi. Kepadatan penduduk dan gaya hidup perkotaan yang cenderung kurang aktif menjadi faktor risiko yang berkontribusi pada tingginya angka kejadian DM. Di Bontang, meskipun tingkat kesadaran masyarakat terhadap risiko DM cukup tinggi, tantangan dalam hal pengelolaan jangka panjang dan pencegahan komplikasi masih ada. Hal ini menunjukkan bahwa edukasi yang lebih intensif dan program-program yang berfokus pada perubahan gaya hidup perlu ditingkatkan di daerah perkotaan.
Tantangan utama di daerah pedalaman adalah keterbatasan infrastruktur dan sumber daya kesehatan. Kabupaten Kutai Timur, Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan Paser memiliki wilayah-wilayah dengan akses yang sulit, sehingga menghambat pelaksanaan program pengendalian DM secara optimal. Di Kutai Barat, meskipun Dinas Kesehatan telah menjalankan program pengecekan HbA1c, keterbatasan infrastruktur menjadi hambatan utama dalam menjangkau masyarakat di daerah pedalaman. Di Mahakam Ulu, infrastruktur yang minim dan sulitnya akses menjadi tantangan terbesar dalam layanan kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan penguatan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Pengembangan layanan kesehatan keliling atau peningkatan sarana transportasi medis juga dapat menjadi solusi untuk menjangkau masyarakat di daerah terpencil.
Di tengah berbagai tantangan, terdapat berbagai inovasi dan kolaborasi yang dilakukan untuk meningkatkan efektivitas layanan primer pengendalian DM di Kalimantan Timur. Di Kota Balikpapan telah melahirkan inovasi “Hidup Manis Tanpa Gula” (BAHIMAT) sebagai layanan kesehatan dengan pendekatan yang lebih holistik dengan memperluas cakupan skrining ke berbagai institusi.